Kamis, 17 Maret 2011

Ada Cinta di Counter Jeans!

Cerita pendek oleh: Alkaryana

Seorang gadis abg baru saja tersandung kaki rak gantung dan nyaris terjerembab di antar blouse pajangan. Untung saja temannya yang  sama-sama masih mengenakan seragam sekolah itu sigap meraih tangannya. Ini terjadi karena si gadis hitam manis berambut yang istilah mereka a la British ini tidak memperhatikan lngkahnya, karena matanya telah terpaku pada sosok Dudi yang berdiri kokoh melipat tangan di dadanya, berkaos tee shirt putih, blue jeans dan sepatu sport. Casual, tapi rapi. Si gadis rupanya terpesona, dan bertanya-tanya dalam hatinya, “Ini orang, apa mannequin..?” Akhirnya kedua gadis anak sekolah itu tertawa bersama dan tersipu sambil kasak kusuk dalam kesepahaman mereka tentang sosok Dudi.
 Menyaksikan itu, Sri jengkel. Bukan saja karena kedua gadis itu menyebabkan berantakan pajangan, tetapi juga karena merasa cemburu dan takut tersaingi. Dudi adalah gebetannya yang masih saja bikin penasaran. Harapan selalu saja didapatkan darinya, dari kebersamaan dan perhatian sebagai sesama karyawan – jelasnya, pelayan – termasuk sentuhan gemasnya saat bercanda. Tapi Dudi tak jua menembaknya menyatakan cinta. Sri berpikir mungkin Dudi sedang membiarkan perasaannya mengalir seperti air, dan tidak suka keformalan dalam menyatakan perasaan dan cintanya. Yang jelas setiap detik yang tak terlalu banyak di counter dengannya, sangat terasa istimewa bagi Sri.
Hari telah beranjak semakin siang. Arloji kecil yang melingkar erat di pergelangan tangan Sri menunjukkan pukul dua siang. Untunglah, bersama karyawan karyawati lain, Sri baru saja beristirahat siang. Dan tentu saja bahagia karena sudah mendapat sedikit dekapan dari Dudi saat di kantin. Saat itu Dudi setengah melingkarkan tangan kirinya di pundak dan tengkuk Sri sambil bercengkrama dengan yang lainnya. Sri tak keberatan, selain merasa kenal dekat sebagai rekan kerja, dia ada hati kepada si pemilik tangan yang dirasakannya gentle ini.  Kini saatnya kembali ke posisi semula. Sri berdiri, agak membungkuk dengan kesepuluh jari tangannya menopang dagunya, dan kedua sikutnya menekan meja nota yang terbuat dari kaca itu. Memperhatikan seisi counter, pengunjung, dan, tentu saja memperhatikan Dudi seolah tak ada puasnya setelah selama istirahat menempel di lengannya. Dudi pun sedang menjalankan tugasnya dengan kalem, tapi sigap.
Seperti hari-hari yang lain, suasana dan rutinitas tak jauh berbeda. Pengunjung counter Gress datang dan pergi. Beberapa pengunjung dengan teliti mengamati jeans, tee shirt, kemeja dan lainnya, lalu akhirnya menghampiri kassa untuk bertransaksi. Ada juga yang setelah berlama-lama memilah dan memilih, mencobanya di fitting room. Namun akhirnya, keluar dari sana dengan muka kecewa atau nyinyir, dan setelah dengan sembarangan menggantungkan pakaian yang tadi dicobanya, ia pergi begitu saja meninggalkan counter. Bahkan tak sedikit yang datang, menghampiri blazer dan kemeja, langsung mengecek harga yang terselip di balik kerah, kemudian pergi lagi karena merasa harganya tidak cocok dengan isi kantongnya.
Y
Itu baru sebagian kecil contoh tingkah laku pengunjung yang sering disaksikan Dudi. Well, sebagaimanapun menjengkelkannya tingkah laku pengunjung dan pembeli, dengan sabar Dudi menghampiri mereka disertai senyuman tanda “terima kasih sudah mampir”. Banyak juga yang justru betah berlama-lama di counter, hanya untuk akhirnya menikmati senyuman dari bibir dan anggukan ramah Dudi serta pandangan matanya yang simpatik, atau untuk sekedar curi pandang pada paras Dudi yang sebersih dan sehalus patung lilin, dengan garis-garis muka yang tegas, hidung mancung dan rambutnya yang lurus selalu dipotong pendek. Banyak orang mengatakan ketampanannya sejajar dengan para pemain film Korea. Sebagus itukah? Yang jelas begitulah Dudi di pandangan Sri yang tergila-gila kepadanya.
Sri juga yang telah berhasil meyakinkan para supervisor agar menampilkan Dudi serupa model untuk produk pakaian pria di counter.  Jadi, selain melayani pengunjung, Dudi memamerkan pakaian new arrival di counter Gress dengan mengenakan pakaian yang gress itu.
“Sikap ramah dan senyuman Dudi yang muncul dari dalam dirinya memang sebagian dari tugas profesionalnya untuk menarik minat pengunjung. Saya yakin, itu juga adalah kualitas yang secara kebetulan dimilikinya yang memang dapat menunjang pekerjaannya," ungkap Sri berdiplomasi pada suatu meeting karyawan dan pimpinan.
Para pendengarnya mengangguk-angguk. Indah, salah satu supervisor berdehem-dehem. Dudi yang duduk di sampingnya hanya bisa tersipu sambil sedikit memijit tengkuk Sri untuk mengatasi perasaannya disanjung begitu rupa olehnya. Dan Sri semakin merasa dekat dengan sang pujaan. Sentuhan-sentuhan Dudi yang gentle meyakikannya bahwa Dudi sebenarnya menyukainya, apa lagi dengan rangkulan sesaat yang terkadang dilakukannya  saat pergi rombongan ke 21 (baca: twenty one) yang ada di lantai teratas mall.
Untuk meyakinkan forum rapat, Sri berlanjut memuji dan jelas memujanya.
“Lebih dari itu, Dudi terlihat mampu memikat banyak orang, bukan cuma senyumannya saja. Lihat aja tubuhnya yang tinggi, langsing tapi berisi dengan otot yang terbentuk tapi  natural. Biarpun suka fitness, tak terlihat tonjolan berlebihan sebagai bentukan olah tubuh di pusat kebugaran. Ya kan Ndud?” tanya Sri sambil beralih arah dengan lincahnya kepada Dudi.
Tapi Dudi tak berkomentar, bergeming, hanya matanya yang sekilas terlihat mengungkap kikuk perasaannya. Pada saatnya nanti ia akan menanggapi ucapan-ucapan Sri yang mengangkat dirinya.
“Pokoknya cocok lah untuk jadi model. Maskulin.. tapi bukan style Dudi pamer tubuh dengan pakaian serba ketat,” lanjut Sri lagi. “Zaman sekarang, banyak sekali lelaki yang suka mengeksploitasi tubuh fitness-nya dengan pakaian seba ketat, tapi alamak.. semua itu dipersembahkan untuk sesama pria. Di mall ini sering sekali mereka terlihat, apa lagi setiap Malam Minggu, berseliweran, bagaikan kumbang mencari kumbang!”
Semua dalam forum tertawa. Dan Sri berlanjut.
“Tapi kalau boleh usul, harus ada dong spg yang juga mengenakan baju-baju new arrival untuk mendampingi Dudi. Dan itu saya. Cocok kan..?
"Halah, bantet gitu pengen jadi model!" sungut Indah yang dari tadi gerah mendengar cerocos Sri.
Sri, memang yang paling kentara jika ingin selalu bersama-sama dengan Dudi. Selalu ada...saja ulahnya. Jika tidak bermanja-manja, menggerutu, atau merajuk, atau mencandai Dudi dengan garingnya; meskipun Dudi sering lempeng-lempeng saja menanggapinya bahkan sring tak menggubrisnya. Acap terlihat, hanya karena ingin ke luar dari counter bersama-sama saat malam tutup toko, Sri bolak-balik  keluar masuk counter dengan alasan yang dibuat-buat, ketinggalan ini lah, lupa itu lah, sebab, Dudi belum juga memperlihatkan tanda-tanda akan beranjak dan masih ngobrol bersama Toni dengan serunya tentang pertandingan basket di televisi. Dan spg yang lain yang menyaksikan tingkah Sri itu hanya saling pandang dengan sudut matanya sambil senyum-senyum maklum. Memang tak ada persaingan berarti di antara para gadis pelayan itu. Tapi mereka sering curi-curi kesempatan mencubit atau mendorong-dorong Dudi ketika bercanda. Dan seperti biasa, Dudi selalu bersikap santai menanggapinya. Malah bersyukur disukai banyak teman wanita.
Y
Pelanggan Gress dapat dikatakan tidak sembarangan orang, hanya yang berkantong tebal lah yang akhirnya mungkin berbelanja, atau remaja anak orang berduit. Maklum, pakaian yang dijual di counter Gress merupakan konsumsi kalangan menengah ke atas. Yang terpenting, jeans dan pakain berbagai jenis dengan model dan warna-warna menawan sangat menarik perhatian pengunjung mall. Setelah mereka masuk Gress,  Dudi seolah kembali menjadi magnet di dalam counter sehingga para wanita betah dan merasa nyaman di dalamnya.
Kali ini seorang ibu setengah baya bertubuh sintal bertingkah genit. Ia menuntun anak lelaki berumur dua tahun dan tangannya yang lain menenteng satu plastic bag besar hasil buruannya di supermarket, serta cardigan yang masih menggantung di hanger-nya yang baru saja diraihnya dari pajangan Gress. Ia tergopoh-gopoh dengan tatapannya yang lengket di muka Dudi, berniat minta tolong.
“De, cari kemeja lengan panjang, bergaris, warna coklat, tapi yang tidak terlalu formal, di mana ya?” tanya si nyonya.
“Oh yang semi formal, ada, tuh, agak ke sudut sana,” jawab Dudi sambil menunjuk ke arah yang dimaksud.
“Tapi De ikut saya deh, sini, soalnya saya gak yakin ukurannya. Kira-kira sebesar De ini. Mungkin kalau mencocokkan dengan badan Ade, bisa pas,” kilahnya, sambil agak menyeret tubuh Dudi karena kedua tangannya sudah kerepotan.
Dudi hanya bisa senyum dan mengikuti permintaannya. Alhasil, bagian tengah tubuh Dudi serta kedua lengannya jadi sasaran raba-meraba si nyonya, yang matanya jelalatan mengagumi kegantengan Dudi si pelayan counter.
Dari ujung sana ternyata Sri memperhatikan juga, dan mendumel, “Sekalian aja bawa ke fitting room!”
“Oh ya, nama saya Lisye. Kamu?”
“Dudi.”
“Ngomong-ngomong, suka fitness ya? Body-nya oke punya,” tanya Lisye.
“Ya, Cuma untuk menjaga kesehatan, seminggu dua kali saja,” jawab Dudi enteng.
Lisye merogoh tas lengannya dan mengeluarkan sebuah kartu nama.
“Ini, kartu nama saya, di sini ada tempat saya mengajar aerobik, mungkin bisa fitness bareng,” kata Lisye sambil menyodorkan kartu nama itu kepada Dudi.
Dudi mengernyitkan alisnya, tapi tak ada pilihan lain; pelanggan adalah raja. Ia menerimanya dengan ramah dan ucapan terima kasih. Dan apa yang terjadi selanjutnya?
“Mama mau ke kassa dulu ya.. Kiki di sini sama Om ini.. ya?! Ya sayang..? Om Dudi ini baik kok,” bujuk Lisye kepada bocah laki-lakinya. Lalu dengan nyerocos dan muka berseri-seri kepada Dudi, “tolong sebentar ya, titip dulu anak saya. Bentaar saja, saya mau ke kassa,” tak lupa dengan sebelah mata mengedip, mirip gaya Elvy Sukaesih sedang bernyanyi.
Dudi bengong, mulutnya setengah menganga, tak berkutik saking cepatnya aksi caper Lisye. Sebelum mampu mengucapkan setengah kata pun, tangan kirinya sudah diraih si bocah. Ajaibnya, si bocah langsung merasa nyaman di genggaman Dudi. Sang bunda pun yang kedua tangannya fully loaded berlalu menuju kassa. Akhirnya, dengan sabar Dudi menerima ketimpaan sialnya. Sedangkan Sri, yang tadi membuatkan nota untuk Lisye, cemberut. Indah, sang supervisor yang kebetulan lewat, juga memperhatikan adegan itu.
“Ada fans baru lo rupanya Dud,” kata Indah dengan nada datar. Dari matanya ia juga tampak kesal dengan Lisye. Tapi dia tak tega melihat si Kiki kecil yang diberinya senyum dan greetinghello..” Ia berniat menggantikan posisi Dudi. Tapi si bocah sudah kadung nempel di kaki Dudi dengan tangan kanannya yang seolah tak mau lepas, sedangkan tangan kirinya memegang pistol-pistolan dengan gerakan menembak. Berjingkrak-jingkrak dengan mulut yang bersuara tak jelas menyuarakan bunyi pistol. Untunglah Lisye segera kembali dan memburu anaknya. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih dengan senyum puas serta kedipan sebelah mata genitnya, lalu balik badan. Sebelum jauh berlalu, Dudi mencolek pipi chubby si bocah.
“Dah Kiki..,” ucap Dudi, dan sang bocah menggapai-gapaikan tangan yang memegang pistol-pistolannya ke arah Dudi. Lisye tak ketinggalan menggerakkan tangannya mengisyaratkan agar Dudi meneleponnya. Indah mengucapkan terima kasih juga dengan mencoba bersikap ramah, demi kelangsungan hidup counter Gress tentunya.
Y
Matahari di atas Mal PBI semakin condong ke barat. Mal pun semakin bertambah ramai. Pengunjung Gress kian lalu lalang; wanita, pria, sendiri, berpasangan, setengah baya, sekelompok anak baru gede. Mata Dudi, Sri serta pegawai lainnya harus semakin bergerak cepat, mengawasi, sambil menyapa, menawarkan produk new arrival, melayani mereka. Segala rutinitas yang terjadi di counter berlangsung seperti kemarin, kemarin lusa, seminggu yang lalu, sebulan yang lalu, bahkan mungkin sejak counter ini pertama dibuka dulu. Semuanya seolah sudah menjadi ritme kehidupan.
Seorang ibu berkerudung yang masih berpakaian kantor lengkap baru saja dipersilahkan Dudi menuju Sri untuk mencatatkan notanya. Ia pun kembali memperhatikan pengunjung lain, barangkali ada yang perlu dibantu. Layang pandangnya terhenti seketika di arah pintu masuk counter. Dari luar, tiba-tiba menghambur masuk, seorang lelaki muda yang berparas tak kalah tampan dari Dudi, berkulit putih, tak begitu tinggi. Matanya sembab dan memerah bekas tangis, tampak lebih merah lagi karena amarah yang dipendamnya. Semua yang melihatnya tersentak. Bukan saja karena keanehan kemunculannya, tetapi juga karena sebilah mata pisau lipat yang mencuat dari kepalan tangan kanannya yang kuat. Terdengar suara wanita menjerit panik, suara seorang mengunjung wanita yang merasa shocked. Semua sontak menghentikan apa yang sedang dikerjakannya dan menyaksikan drama yang baru saja akan dimulai.
Dalam waktu sepersekian detik, ia sudah berada di hadapan Dudi yang tak sempat mempertanyakan kedatangannya. Yang lain merasa khawatir jika Dudi akan ditikam dengan pisau lipat itu. Tapi yang terdengar adalah kata-kata lelaki muda itu yang menyerang tanpa tedeng aling-aling.
“Dudi! Kamu benar-benar tak berperasaan. Sampai hati ingin mencampakkan aku. Kamu tega memutuskan semuanya? Begitu mudah ingin melupakan segalanya. Bukankah kamu janji akan terus ada untuk aku? Mendukung? Mana janjimu itu??”
Serentetan ucapan dan makian itu seolah menghantam selaksa pori-pori telingan dan alam sadar semua yang mendengarnya. Semua orang ternganga, tak terkecuali Indah dan Sri.
“Hah...? Dudi..??” ucap Indah dan Sri hampir bersamaan.
Dan Dudi, merasa bak ditimpa banjir bandang lumpur yang penuh bebatuan tajam, meremukkan semua tulang yang menopang tubuhnya, menghancurkan seluruh sel dalam tubuhnya. Ia lunglai di antara debaran jantungnya yang kencang. Tapi ia bisa menguasai dirinya.
Evan..,” ia hanya bisa berucap menyebut nama pemua itu.
“Lihat ini! Akan kupotong urat nadiku sekarang juga,” Evan si pemuda manis ini menjulurkan kedua tangannya. Lengan kirinya dibukanya, sedangkan tangan kanannya menempelkan mata pisau lipatnya yang tampak tajam mengkilap itu di atas urat nadinya. Menempel; dan sekali gores saja akan mampu melukai tangan mulusnya.
Dudi benar-benar panik kini.
Van! Evan! Apa-apaan ini? Sadar apa yang kamu lakukan!” kata Dudi sambil suaranya sedikit bergetar. Tapi Evan berlanjut dengan perkataannya yang membuat semua orang lebih menganga mulutnya, shocked dan aneh mendengarnya.
“Sekarang, katakan! Katakan kamu masih cinta aku Dud! Katakan! Katakan kita belum putus! Kalau tidak, lihat! Lihat pisau ini!”
Evan jangan! Kamu nekat Evan. Jangan! Sadar, sadar Evan!”
“Tidak, Dudi. Tidak sebelum kamu katakan. Katakan kamu masih mencintaiku Dudi. Katakan kita belum putus!” Evan memaksa.
Dudi menjawab, “Tidak, Evan. Kita..”
Belum sempat Dudi mengucapkan kata-kata selanjutnya, pisau itu telah merobek pergelangan tangan Evan. Dan dari situ, darah seketika mengucur deras. Kontan jeritan-jeritan para wanita terdengar lagi. Dudi berusaha meraih Evan yang mau roboh. Indah mematung, melotot tak berkedip. Sri, pingsan.

--end of the fragment--

Ada Cinta di Counter Jeans!

=(2008)=

Tidak ada komentar:

Posting Komentar