Minggu, 08 Mei 2011

Anak Mama (?)

Aku tak punya puisi indah, puja puji.. Hanya ini untuk mengisi Hari Ibu. Beberapa plot dari novelku yang belum pernah diterbitkan :)

Dalam keadaan babak belur aku tiba di rumah, saat hari sudah benar-benar gelap. Aku kaget tak terkira, karena yang menyambutku di pintu adalah Mama.
"Andi..! Ya Tuhan.."
"Mamah..?"
Aku tertegun, speechless. Sosok yang begitu lamanya tak kujumpa ataupun bertegur sapa bahkan lewat pena pun, kini berada di hadapanku, menyambut di ambang pintu yang terbuka. Wajahnya tampak sedih, dan matanya tak lepas, memperhatikan sekujur tubuhku, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Penuh keheranan dan iba. Aku tak dapat berkata apa-apa lagi, yang dapat kulakukan hanya mencium tangannya. Setelah sedikit mengusap rambutku, Mama langsung memelukku. Dengan dekapannya padaku, Mama mencoba menunjukkan kerinduan dan rasa sayangnya. Aku pun terbawa haru.

"Kamu kok begini hancur Nak..? Kotor, kurus, gondrong, bau..."
Aku tak menyahut. Tapi langsung ngeloyor ke dalam. Tapi Mama tak mau melepaskan sentuhan tangannya dari badanku.
"Kamu jelek begini Nak. Apa tiap hari begini? Mamah hampir tak mengenali kamu. Sama sekali tak seperti Andi anak Mamah."
"Nggak Mah.., tadi terpeleset jatuh di lumpur aja," kini aku menjawab sambil tersenyum, mencoba berhati-hati. Aku tak mau menyinggung perasaan Mama yang memang sensitif. Aku memang kecewa, Mama sangat tak menyukai hubungan dan kebersamaanku dengan Kartika. Tapi bohong kalau dibilang aku tak rindu padanya.

Aku memanggil Kartika.
"Tika..."
Saat mendengar nama Kartika disebut, wajah Mama yang penuh iba itu berubah masam. Aku tahu, Mama berfikir kalau keadaanku seperti sekarang ini akibat Kartika. Tak lama kemudian Kartika muncul membawa segelas air putih hangat. Melihat keadaanku yang memang babak belur, Kartika tampak terhenyak. Aku cepat meraih gelas dari genggamannya dan medekapnya erat. Lalu mengecup keningnya. Aku merasa Kartika menahan dirinya saat dalam dekapanku, tak tahan bau keringat dan kotor, smells of seven spirits alias bau tujuh rupa.
"Makasih," ucapku kepada Kartika sambil langsung meminum air itu hingga tak tersisa setetes pun. "Mana Dika?"
"Udah tidur. Mau langsung makan?"
"Ntar aja, mandi dulu."

Mama memandang dengan tatapan yang kurang senang ke arah kami yang menunjukkan kebahagiaan suami istri tepat di hadapannya. Aku, tak mungkin membiarkan Mama terpaku sendiri di sana. Maka aku beralih kepadanya dan membimbingnya duduk di sofa coklat kami yang sudah robek dan bolong-bolong itu. Adalah sofa pemilik rumah yang mereka relakan untuk kami gunakan. Sementara kami berdua melepas rindu, Kartika ke kamar menemani Dika.

"Mama diberitahu Ma'ul, kamu di sini."
Tuh kan...! bathinku. Akhirnya terjadi. Ma'ul adalah anak umur 6 tahun anak Tante Meti yang tinggal di Beji, Depok. Serapat-rapatnya bangkai disembunyikan, baunya tercium juga!
"Kenapa sih tidak tinggal di rumah Tante Meti aja? Mamah setengah mati mencari kamu, Andi. Kalau tak kepikiran nanya si Ma'ul, tak ada yang beri tahu Mamah."
"Jauh, Mah dari sekolah."
"Kan bisa sekolah di Depok aja!"
"Sudah lah Mah.. Keadaannya lain. Andi sudah bahagia di sini. Tak mau merepotkan Tante Meti sekeluarga. Andi kan tidak sendiri. Sudah berkeluarga."
"Keluarga? Keluarga apa?!" Kamu kan terpaksa!" tiba-tiba Mama menaikkan nada bicaranya.
"Siapa bilang Andi terpaksa Mah?"
"Kawin muda.. Iyeuh Andi, apa yang menimpa dia, kamu tak perlu merasa bertanggung jawab!"
"Tanggung jawab apa? Andi menikahi Kartika karena Andi mencintainya Mah.."
"Perempuan penggoda gitu dicintai. Suka sama anaknya, bapaknya juga diembat! Perempuan murahan!" mamaku semakin menyolot.

Mamaku, Ratna Ningsih Mulyawati, benar-benar tak berubah.
"Kalau kedatangan Mamah hanya untuk menggugat lagi keputusan Andi Mah, Andi menyesal bertemu lagi dengan Mamah."
"Nah! Andi anak Mamah mah tidak begini. Pasti kamu teh sudah dipengaruhi si muka minyak Kartika yang tidak punya sopan santun itu!"
"Maaf, kalau Andi tidak menjadi seperti yang Mamah harapkan."
"Coba kalau kamu tidak kawin sama dia, kamu bisa hidup yang layak seperti dulu. Seperti anak-anak lain seumur kamu."
"Sudah malam Mah, Andi mau mandi," aku menyudahi ungkapan-ungkapan dendam rindu kami sambil berdiri untuk berlalu ke belakang. "Lapar.. Mamah sudah makan?"
"Nggak!"
"Permisi Mah," kataku sambil berlalu ke belakang.
"Anak sakasep-kasep jadi ruksak kitu.. Kalakuan jadi nurustunjung.."

*************

Pagi-pagi sekali aku dibangunkan oleh Kartika. Rutinitas seperti biasa harus dilaksanakan. Persiapan ke sekolah hingga ke lapak. Untungnya Kartika selalu tahu dan hafal apa-apa yang aku butuhkan, hingga mata pelajaran apa yang hari itu akan aku hadapi, dia tahu. Aku justru kini mendapat perhatian dan belaian kasih sayang seorang ibu darinya. Nilai ulanganku pun dia tahu semuanya. Lucunya, dia suka menjewer telingaku kalau nilaiku jeblok. Seperti nilai Kimia-ku yang selalu do re mi fa sol.
"Hey! Assholaatukhoirumminannauum!" bisik Kartika ke telingaku sambil menggoyangkan pahaku. Aku terbangun, dengan suara masih serak-serak, aku menyahut setengah bergumam, mencoba merima-kan bunyi akhir ajakan sholat itu.
"Gak solat ge teu kunanaooon.."
"Andi!" Kartika setengah membentak.
"Siapa Andi? kayak ke teman sekelasnya aja," dengan suara masih ngosom aku melayani ucapan-ucapan Kartika dengan mata tetap terpejam dan terbaring menyamping, membelakanginya.
"Iya, Papa..."
"Emang Papa T Bob?"
"Yee, Abah."
"Emang Abah Us Us?"
"Akang."
"Emang Kang Kabayan..?"
"Memmaaaaang!" sambil menjerit begitu, Kartika mencubit pangkal lenganku. Aku kontan teriak dan seratus persen membumi. Sakitnya cubitan Kartika menambah ngilunya bekas tendangan dan pukulan orang, dan akibat ketiban Jack Jon kemarin. Kartika menyadari itu dan langsung minta maaf.
"Eh maaf, maaf."
Tubuhnya sangat dekat saat tangan kanannya mengusap-usap pangkal lenganku yang baru saja dicubitnya. Maka aku rangkul saja dia dan kutarik hingga terjatuh di atas tubuhku. "Kadung sudah terbangun dan terbangun!" pikirku. Kemesraan segera terjalin di antara pelukan, elusan dan kecupan. Kecupan-kecupan itu akan kami tingkatkan levelnya pada French kiss, tapi jeritan tangis Dika menggagalkannya.
"Uw'aaaaaaaaaaa!"
Tampaknya Dika, bayi laki-laki tujuh bulan kami protes. Katanya tak baik bermesraan di depan umum. Bermesraan di depan umum, denda lima ribu, dan masuk penjara! Permainan Monopoli ngkali ya Dika?
Akhirnya urung niat muliaku. Memang sudah waktunya menyucikan kembali badan dan melakukan kewajiban yang lain.

Saat mau sarapan makanan yang dibelikan Kartika dari warung, Kartika memberi tahu bahwa Mama yang menyediakan air dalam gelasku.
"Tolong tuangin lagi. Ambil gelas lain. Aku gak akan minum yang ini," pintaku. Aku beranjak dari kursi makan dan kubawa air dari mamaku. Aku cari jendela samping yang terbuka, tapi tak ada. Akhirnya aku ke kamar dan mendapati jendelanya sudah terbuka. Aku julurkan tanganku yang memegang gelas itu dan menumpahkan airnya, menyiram tanaman kecubung di bawah jendela. Ternyata, Mama yang kukira ada di dapur, sedang di depan melihat-lihat tanaman hias yang ditanam Kartika.
Yang terjadi kemudian adalah Mama marah. Setelah masuk ruang tamu kecil di depan pintu kamarku, Mama memanggil. Dari nadanya saja aku tahu, Mama mau mempersoalkan air yang kubuang.

"Andi! Andi sini kamu!"
"Ya Mah," sahutku sambil langsung menemuinya.
"Kenapa air tadi kamu buang?"
"Nggak apa-apa."
"Itu air yang Mamah siapin kan?" Mamah pake gelas itu."
"Saya mau kopi Mah."
"Alesan.. Sejak kapan kamu sarapan minum kopi? Minuman pertamamu kan air putih?!"
"Andi kan bukan Andi yang dulu lagi. Mamah sendiri juga bilang."
"Kamu ini dari dulu susah diatur. Berani melawan orang tua. Itu, tuh si Tika tidak bikin kopi, tapi air putih juga."
"Andi, tidak mau senasib dengan Mamah."
"Apa maksud kamu?"
"Andi tidak mau kena pengaruh seperti Mamah."
"Maksud kamu teh apa, Andi? Pengaruh apa?"
"Pasti air itu sudah ditaburi jampe-jampe agar Andi baik ke Papah. Tak akan. Itu tak akan terjadi."
"Andi! Kamu tega menuduh Mamah seperti itu?"
"Mamah pasti sudah diajari pengasihan dari keluarganya Papah. Mamah tidak sadari kalau Mamah juga sering cekcok sama Papah, tapi ujung-ujungnya Mamah baik sekali sama dia. Silahkan kalau Mamah memang cinta mati sama Baharuddin. Silahkan.. Jangan ajak-ajak Andi Mah."
"Kamu kurang ajar sekali ya sekarang sama orang tua."
"Andi tidak pernah mau menyakiti hati Mamah. Andi sangat sayang sama Mamah. Tak pernah berubah. Tapi kok Mamah menutup mata akan kebejatan laki-laki yang bernama Baharuddin?"
"Dia papamu, Andi."
"Apa yang membuat Mamah buta?"

Aku sendiri tak mengira kenapa perdebatan ini terjadi. Di pagi hari pula. Segala kekesalan dan kemarahan yang telah kuredam selama ini seolah timbul lagi seperti banjir bandang yang tak mungkin dibendung.
Aku mendengar Kartika dengan suara tertahannya mencoba memintaku menahan diri dan berhati-hati berhadapan dengan ibuku ini. Tapi suara-suara Kartika seolah dissolved dan kalah oleh suara-suara kami. Akhirnya ia meninggalkan kami ke teras. Tampaknya ada Unil menghampirinya. Aku masih bersitegang, dengan mamaku tercinta.
"Bagaimanapun juga, ia Papahmu Nak.."
"Apa Mamah tak tahu, ia hobi main perempuan? Apa Mamah tak tahu, ia kurang ajar sama anak-anak sanggar yang tak sepantasnya ia ganggu. Kartika salah satunya Mah. Kartika, pacar Andi sendiri, Mah!"
"Itu kan karena keganjenan mereka sendiri!"
"Lalu Mah, dengan alasan menemui teman-temannya, sutradara, kru film, kerja sama produksi, dan tetek bengek lain. Mana Mamah tahu kelakuannya di belakang Mamah? Andi tahu Mah. Waktu katanya ke Hong Kong. Ke Hong Kong apa? Tidak ada teman-temannya yang edit film di sana. Dia ternyata ke Jakarta saja Mah, ikut nyicipi perempuan tak bermoral yang ingin terkenal. Berlagak agen artis."
"Kata siapa itu Andi?"
"Andi bukan anak kecil yang bisa diam hanya diberi permen loli, Mah. Andi sudah ngerti. Tak pantas Andi ceritakan yang sejelas-jelasnya ke Mamah."
"Andi.. Kamu tega menceritakan Papamu seperti itu..," suara mamaku melemah.
"Hati Andi juga tersayat menceritakan ini, Mah. Papah juga orang yang tamak! Honor anak-anak sanggar setelah pentas dan syuting tak diberikan kepada mereka. Asal Mamah tahu, Papah merampok uang yang ada dalam gentong saat Teh Lani nikah! Uangnya pasti dipake untuk beli perempuan!"

Mama menangis.
Aku merasa bersalah..

fb comments:

  • Erli Siregar and Metta Iskandar like this.
    • Sunaryono Basuki ya memang b ukan. Kirim aja ke koran
      December 22, 2009 at 3:09pm ·  ·  1 person
    • Alkaryana Chapterone ‎@ P'Sunaryono Basuki: Terima kasih Pak.., atas apresiasinya. Ini bagian tengah dari tulisan saya yg pernah ditolak Gram****. Mungkin juga akan di-potong2 menjadi cerpen atau cerbung untuk di koran. Terima kasih, dan karya Bapak yg baru saya tunggu.. :-)
      December 22, 2009 at 3:30pm · 
    • Djasti Tanius hmmm kerjaan org filmmmg rawan...tc ur self..^^
      December 22, 2009 at 7:10pm ·  ·  1 person



Tidak ada komentar:

Posting Komentar